Teriknya sang surya mengisahkan tergoresnya
sedikit cerita dalam kehidupan usia kelamku. Tak pernah terbesit bahkan
terbayang dalam hidup, aku lahir di tengah-tengah keluarga yang tergolong
berkecukupan bahkan di kategorikan lebih. Tapi di balik semua itu aku belum
merasa sempurna karna tak semuanya dapat dimiliki termasuk kehangatan dan
kebersamaan bersama keluarga.
Dengan adanya
seperti itu, angin membawa hidup ku menjadi bebas , tak mengenal arti norma,
bahkan dalam hatiku telah lebur asal mula kehidupanku dulu yang beragama islam.
Kini ku jalani hidupku hanya dengan berfoya-foya tanpa malu kesana kemari
bermain dengan seorang laki-laki sampai tak mengenal waktu, tapi disitu aku
belum menemukan ketenangan “ bibb..bibb..”
suara klakson temanku menyadarkan bahwa dia telah sampai di depan rumah. “
Vera,, ayo kita jalan-jalan, dari pada boring malming cuma di rumah” ajak
Nasab. Dengan gesit aku melewati tangga menuju mobilnya.
Malam itu terasa
begitu cepat, pukul 12 malam pun telah berlalu. Jam pun berdentang keras, tapi
tak sampai membawa sinyal ke gendang telingaku untuk pulang. Hingga jam 2 pagi
tiba, kami baru pulang setelah merasa lelah. Karna ulah kenakalan kami, hingga
kami pulang dalam keadaan mabok.
Keanehan terjadi
dalam perjalanan kami, mobil yang kami kendarai hampir menabrak truk, hingga
tiba-tiba terperosok ke dalam jurang. Kami semua tergampar ke jurang sedangkan
aku terbawa arus hingga membawa aku hanyut terbawa arus yang deras. Perjalanan
semu ku berhenti disuatu daerah yang asing di mataku. Hingga aku ditemukan
seorang nelayan di sungai. Dia membawaku menuju gubuknya. Dua hari aku tertidur
tanpa sadar.
“ Alhamdulillah kau telah sadar..” syukur bapak. “ saya Pak Badrun,
bapak tidak bermaksud jahat sama kamu nak, kemarin bapak temukan kamu terdampar
di sungai, jadi bapak bawa kesini ..”
penjelasan bapak. Ku hanya terdiam dan melamun mengingat kejadian yang ku alami
kemarin. Tanpa sadar setetes air mata mengalir di pipiku.
Senja pun kini
datang untuk menyambut kisah baruku. Terdengar suara menimba air di sumur, ku
amati lekat-lekat apa yang dia lakukan, terasa aneh tapi terlihat tidak asing,
dia membasuh muka, tangan, kaki, dan sebagainya. Sebenarnya apa yang dia
lakukan ? tiba-tiba dia pergi dan melakukan yang sepertinya itu sholat. Tak lama
kemudian dia membaca sebuah buku, tapi isinya berbeda terlihat indah hingga
tiba-tiba tanpa sadar aku menyenggol sebuah gelas. “ Pyaarrr..”.
“ Astaghfirullah..‘’ ucapnya. “ Maaf, maaf bukan maksud ku
mengganggu.” Sesalku. “ Gak papa mbak, maaf telah mengganggu tidur mbak.”
ucapnya. “ Gak kok, kamu siapa, dan tadi apa yang kamu baca ? itu semua
membuatku tenang.” tanya ku. “ Aku ro’ful, anak Pak Badrun, yang ku baca tadi
adalah Al-qur’an.” jelasnya. “ Oh,, jadi kamu anaknya bapak ? aku Vera, bolehkah
aku meminta kamu membaca itu lagi ?” pintaku.
Perkenalan denganya
membuat hatiku dan hidupku berbeda, beribu-ribu ceritanya membuat hatiku lebih
berwarna. Dia selalu bercerita tentang agama yang pernah ku anut, yaitu Islam.
Ketenangan mengalir dari ceritanya hingga hatiku sedikit luluh. “ Maaf, ini apa
? kain putih panjang dan bentuknya apa ini ?” tanyaku. “ Ini mukena almarhum
ibuku, inilah pakaian buat sholat serorang wanita” jelasnya. “Sepertinya dulu
SD aku pernah memakainya, bolehkah aku mulai memakai kembali ?” tanyaku. “
Silahkan jika mbak siap buat mulai memakainya, pakailah ini.” pemberiannya.
Semuanya telah ku temukan kembali, sedikit demi sedikit kehangatan yang dulunya
ku cari. Dilandasi kederhanaan dan keimanan yang benar membuat hatiku tentram.
Akhirnya ku kenal kembali apa yang rohani ini inginkan, bukan harta tapi
ketenangan. Lengkap sudah semuanya setelah mengenalnya. Lalu aku mengajak
mereka bergabung ke gubuk kelahiranku . beberapa tahun kemudian ku temukan rasa
yang berbeda pada diri kami, hingga tanpa ku duga Ro’ful meminangku. Tanpa
basa-basi hati ini tak bisa berdusta untuk menolaknya. Hingga akhirnya kita
menjadi mahrom.
Anjiati N Athiyah IPA A
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !